Sudahkah Ber-Republik di Tahun 2022?
Tidak sedikit negara-negara di dunia menggunakan kata “Republik” sebagai nama depan resmi-nya, Indonesia merupakan salah satu negara di antara nya. Dalam konteks mancanegara, republik sendiri cukup familiar digunakan sebagai nama partai politik, seperti di Amerika Serikat (Republican Party). Penggunaan kata republik dalam konteks domestik tidak jarang dimanfaatkan dalam kampanye politik, baik kata tersebut disematkan dalam akronim (seperti NKRI) atau disebutkan secara terpisah.
Republik sendiri memiliki arti yang bermacam-macam. Robertus Robet dengan bukunya yang berjudul Repblikanisme, menyimpulkan arti republik berdasarkan kumpulan gagasan, yakni “komunitas politik bersama yang diorganisir oleh pemerintahan yang mendasarkan diri pada prinsip demokrasi, termasuk sistem perakilan yang diadakan dengan kesepakatan untuk mengabdi pecapaian tujuan-tujuan hidup bersama yang baik di bawah prinsip hukum dan persamaan”.
Sejarah dan dan perkembangan hadirnya makna republik, serta latar belakang sistem republik di Indonesia sudah berjalan secara historis. Dari pengertian dan sejarah republik tersebut, penulis berpikir :
“Apakah negara hari ini sudah ber-republik? Dan apakah kita (sebagai masyarakat sipil) sudah sepenuhnya ber-republik?”
Pertanyaan tersebut mendorong penulis untuk mencoba menguraikan analisis terkait partisipasi negara dan masyarakat dalam ber-republik.
PREPOSISI REPUBLIK DAN KONTEKSNYA
Penulis akan mencoba mengantarkan analisis kontekstual terhadap preposisi republik, dalam konteks yang sudah diimplementasikan (oleh pemerintah) serta apa yang masih menjadi tantangan dalam implementasinya. Wacana ide republik memiliki lima preposisi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Robet.
Pertama, adalah preposisi terhadap ide common goods (kebaikan bersama), yang dimaknai dengan keterlibatan politik yang dilakukan dalam mencapai makna hidup bersama. Penulis menangkap pemaknaan tersebut tertuju pada partisipasi politik yang dilakukan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Mengacu pada catatan analisis dari Nugraheni, indikator kesejahteraan Indonesia menunjukkan catatan positif dari kurun waktu 2017 sampai 2021 dalam indeks pembangunan manusia dan angka harapan hidup. Hanya saja tingkat penganggurannya meningkat pada tahun 2020 dan 2021, sebagai dampak dari Pandemi Covid-19. Catatan ini membuat indeks kesejahteraan masyarakat Indonesia berada di atas Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Vietnam.
Preposisi kedua adalah civic virtue (keutamaan wargawi), yakni adanya keterlibatan aktif warga untuk mencapai keutamaan dan membela kebebasan sebagai kewajiban warganya. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki catatan kritis, dimana dalam beberapa tahun terakhir terdapat beberapa kebijakan yang menuai respon kontra dari masyarakat. Beberapa kebijakan seperti UU ITE. Selain itu, organisasi masyarakat sipil diwajiban mendaftar dan pemerintah terus berupaya terlibat dalam kegiatannya menunjukkan pengekangan pemerintah terhadap perkumpulan sosial. Keadaan represif ini ditambah dengan keputusan sepihak yang dilakukan pemerintah dalam membubarkan beberapa organisasi, sebagaimana yang dijelaskan Putra dalam artikelnya.
Preposisi ketiga adalah partisipasi kewarganegaraan. Dalam hal tersebut, warga dibutuhkan pembentukan mind-set tertentu. Dalam konteks ini, pendidikan mind-set, lebih spesifiknya karakter dan kewarganegaraan, sudah dilakukan oleh pihak pemerintah dengan beberapa upaya seperti penambahan mata pelajaran Pancasila bagi siswa sekolah dasar. Akan tetapi, penulis masih berada dalam tahap mempertanyakan adanya urgensi dibalik kebijakan tersebut. Di sisi lain, data atau penelitian terhadap hasil pembentukan karakter masyarakat belum banyak dihasilkan.
Preposisi keempat adalah menegaskan pentingnya institusi politik untuk membentuk dan mengantarkan warga negara ke dalam politik. Hal tersebut bermuara pada pendidikan dan keterlibatan dalam berbagai aktifitas politik langsung dalam rangka mencapai “good life”. Institusi politik, yang dapat mengacu pada lembaga pemerintahan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan lembaganya, seperti contoh dengan menyambung kegiatan meraka terhadap masyarakat melalui platform media sosial, serta pengunggahan kebijakan dalam laman resminya. Akan tetapi, pihak sipil pun masih membutuhnya keterbukaan secara penuh terhadap beberapa akses yang dianggap masih belum terbuka, contohnya anggaran dan laporan kebijakan.
Preposisi terakhir adalah patriotisme, yakni keberanian untuk memperjuangkan kebaikan bersama. Sebagaimana yang dijelaskan mengenai kebaikan bersama (dalam preposisi pertama), penulis mengamati bahwa masyarakat sipil sudah menunjukkan perjuangan tersebut. Beberapa hal, layaknya demonstrasi terhadap kebijakan kontroversial serta adanya politik nilai, menjadi bukti patriotisme tersebut. Akan tetapi, dalam perspektif pemerintah, masih terdapat beberapa kebijakan yang nyatanya memberikan dampak membahayakan bagi masyarakat.
PENUTUP
Berdasarkan lima preposisi republik beserta analisis kontekstualnya, faktanya Indonesia belum sepenuhnya memberikan catatan positif. Negara, dalam tangkap penulis, sudah dianggap sudah ber-republik apabila sudah memberikan catatan positif secara dominan dalam menjawab setiap preposisi yang ada. Meski demikian, perlu dipertegas bahwa republik bukan soal negara saja, namun juga terdapat masyarakat yang memiliki peran dalam menjawab tantangan terwujudnya suatu negara republik. Masyarakat, sekalipun tanpa campur tangan penuh pemerintah, juga mampu berperan dalam mewujudkan negara republik. Melakukan pendidikan politik, menjalankan politik nilai, atau terlibat didalam institusi politik dan membawa nilai konstruktif juga dapat dilakukan masyarakat untuk menjawab tantangan tersebut.